Senin, 29 Maret 2010

Implementasi Kurikulum dn perobahanya.

IMPLEMENTASI KURIKULUM:
Sebuah Perbandingan antara Kurikulum Ornstein & Hunkins dan KTSP

Oleh: M. Faqih Sekunun.

A. Pendahuluan
Implementasi evaluasi pendidikan yang ditetapkan pemerintah, yaitu Ujian Nasional 2006 barusan berlangsung. ‘Gawe’ besar pendidikan nasional tersebut secara umum dinyatakan berlangsung dengan sukses. Namun, pernyataan kesuksesan Ujian Nasional secara umum tersebut menyisakan kasus: Di Medan kasus Air Mata Guru yang mencoba membuktikan penyimpangan pelaksanaan Ujian Nasional dan di Jakarta kasus dikabulkannya gugatan citizen law suit (hak gugat warga negara) Ujian Nasional 2006 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Ujian nasional merupakan rangkaian besar pelaksanaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003. Undang-undang, peraturan menteri, peraturan pemerintah. Implementasinya memang seringkali menimbulkan jarak. Begitu juga dengan Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dalam implementasinya (walau saat ini masih masa transisi), namun di beberapa daerah sudah mulai menunjukkan indikator adanya kesulitan pelaksanaannya 9atau lebih tepat kekahawatiran dan kebingungan.
Makalah berikut akan mencoba mereview Bab X dari buku yang ditulis oleh Allan C. Ornstein dan Francis P. Hunkins. 2004. Curriculum: Foundation, Principles, And Issues, Fourth Edition. Boston USA: Pearson Education, tentang Curriculum Implementation. Pereview akan mendeskripsikan inti Implementasi Kurikulum yang ada dalam buku tersebut dan kemudian menelaahnya dan mengkontektualisasikannya dengan implementasi KTSP.

B. Pokok Pembahasan dalam Implementasi Kurikulum Ornstein & Hunkins
Fokus Pembahasan Implementasi Kurikulum Ornstein & Hunkins meliputi: 1) Mengapa implementasi mempertimbangkan suatu aktivitas restrukturisasi? 2) Bagaimana cara menghubungkan perencanaan dengan implementasi? 3) Apa peran communication play (?) dalam aktivitas pelaksanaan? 4) Untuk apa perluasan berkaitan dengan sifat alami perubahan bersamaan dengan imlementasi kurikulum? 5) Apa langkah yang umum untuk mengimplemantasikan berbagai model implementasi kurikulum? 6) Kenapa masyarakat cenderung menentang perubahan? 7) Bagaimana kita meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap perubahan? 8) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi proses implementasi kurikulum? 9) Peran apa yang dapat membangun asumsi masyarakat dalam proses perubahan di bidang pendidikan?
Kurikulum tidak akan tercapai jika hanya dibiarkan setelah dikembangkan. Kurikulum yang telah didesain optimal harus diimplementasikan dan mempunyai hasil bagi pembelajaran. Banyak kurikulum yang telah didesain dan dikembangkan tidak diiplementasikan karena ketiadaan suatu rencana perubahan dalam keseluruhan suatu sistem persekolahan.
Kurikulum baru yang gagal boleh jadi karena alasan belum mempertimbangkan pengembangan kurikulum secara kritis. Seringkali, individu dalam sekolah percaya bahwa usaha kurikulum adalah untuk melengkapi rencana baru yang dikembangkan atau material baru yang dibeli. Perhatian lebih banyak diberikan pada permasalahan manajemen dan organisasi dibanding pada perubahan kurikulum. Banyak individu yang bertanggung jawab pada kurikulum tidak memprosses suatu pandangan makro perubahan atau menyadari bahwa inovasi memerlukan perencanaan hati-hati dan monitoring yang ketat. Individu tersebut sering berpikir bahwa implementasi adalah merupakan pengunaan program baru atau tidak.
Implementasi yang sukses adalah suatu proses yang mempunyai beberapa hal baru. Implementasi tergantung pada pendekatan umum pengembangan kurikulum dan kurikulum itu sendiri. Kebanyakan orang percaya bahwa implementasi yang sukses, bersandarkan pada penggambaran langkah-langkah yang tepat yang terutama menyangkut proses pengembangan. Kebanyakan orang mempertimbangkan implementasi adalah sebagai sesuatu yang tak dapat diramalkan dan tidak pasti.
Implementasi dapat dipandang sebagai rangkaian yang sangat teknis secara alami ke seluruh aliran dan sangat estetis. Titik pusatnya adalah bahwa hal ini merupakan suatu komponen dalam siklus tindakan kurikulum yang tidak bisa dilalaikan. Langkah ini melibatkan tindakan luas yang tidak hanya, sebagai contoh, perubahan tempat kerja untuk staff. Implementasi merupakan usaha untuk mengubah pengetahuan, tindakan, dan sikap individu. Implementasi adalah suatu interaksi proses antara mereka yang menciptakan program dan mereka yang melaksanakannya.

Sifat Alami Implementasi
Leslie Bishop menyatakan bahwa beberapa tahun yang lalu, implementasi memerlukan penggantian dan restrukturisasi. Keadaan tersebut masih benar di abad ini. Implementasi memerlukan penyesuaian kebiasaan pribadi, tindakan, mengutamakan program, tempat belajar, dan suatu schedule kurikulum. Hal ini mempunyai pengertian bahwa pendidik bergeser dari program yang sekarang kepada program yang baru. Seorang pemimpin kurikulum dapat mencetuskan perubahan perilaku staff dan tergantung pada mutu perencanaan awal dan presisi langkah-langkah pengembangan kurikulum.
Pemimpin aktivitas kurikulum sudah menyadari bahwa implementasi adalah suatu aspek penting pengembangan kurikulum, dalam dua dekade terakhir di abad duapuluh, implementasi menjadi suatu perhatian bidang utama pendidikan. Hal ini meningkatkan anggaran menjadi berjuta-juta dolar yang dibelanjakan untuk mengembangkan proyek kurikulum. Dan banyak projek yang tidak berhasil. Saat ini, kritikus pendidikan masih mencatat bahwa banyak kurikulum belum sukses dengan siswanya.
Ada banyak alasan dari kegagalan tersebut. Barangkali, alasan utamanya adalah sebagaimana dikemukakan oleh Seymour Sarason. Ia mengemukakan, banyak fakta bahwa perubahan bidang pendidikan telah gagal sebab usaha yang bertanggung-jawab atas perubahan tersebut mempunyai sedikit atau pemahaman yang salah menyangkut kultur sekolah. Banyak program inovatif didesain oleh tenaga ahli dari dan di luar sekolah. Bagaimanapun, ketidak-tahuan kultur sekolah adalah juga permasalahan antar pendidik. Barangkali, inovasi belum diterapkan sebab pendidik telah kurang sabar, kurang cepat menghasilkan sesuatu untuk menyenangkan legistator dan publik mengkondisikan untuk perbaikan yang menentukan dan cepat.
Sarason mencatat dua hal penting sebagai dasar esensial untuk implementasi. Yang pertama adalah informasi teoritis, yang menghubungkan teori perubahan keorganisasian dan teori pengetahuan dengan bagaimana gagasan berkait dengan suatu dunia nyata yang kontekstual. Pemahaman yang kedua berhubungan dengan perubahan, khususnya konteks social-institutional. Pelaksana yang sukses menyerap sifat alami konteks ke dalam kurikulum baru. Mereka memahami struktur organisasi, tradisi suci, hubungan kekuasaan, dan bagaimana anggota menggambarkan diri mereka dalam peran mereka. Pelaksana menyadari bahwa semua faktor ini ada dalam konteks mereka dan mempengaruhi dinamika.
Pandangan seseorang tentang konteks social-institutional ini dipengaruhi oleh apakah orang merasa dunia pendidikan sebagai sesuatu yang teknis atau non-teknis. Beberapa individu percaya bahwa ini adalah aktivitas kurikulum yang dapat diuraikan secara rinci; yang lain berpendapat bahwa hal ini adalah mengalir dan aktivitas yang muncul adalah lebih sedikit untuk dipahami dan diatur dibanding untuk dihargai dan didukung.
Ketika mendiskusikan implementasi, kita harus mempertimbangkan berbagai asumsi, yang kita bawa kepada sebagian proses. Kita dapat berasumsi bahwa implementasi hanya perencanaan kurikulum atau implementasi proses untuk mengalir, dengan kompleksitas yang tak terduga dan muncul dari waktu ke waktu. Apapun pendirian kita, dan mungkin baik adalah mengkombinasikan keduanya. Kita harus realiistis untuk implementasi. Kita harus mendapatkan "gambaran yang besar." Pengembang kurikulum, pengurus, para guru, dan para penyelia harus jelas tentang tujuan, nature, hal-hal yang potensial dan hal yang riil tentang keuntungan dari inovasi tersebut. Dan yang pasti, harus membayar para guru dan yang lain untuk usaha ekstra merekadalam keterlibatan mereka pada implementasi dan perubahan kurikulum.

Hubungan Implementasi dengan Perencanaan
Implementasi kurikulum yang sukses dihasilkan dari perencanaan hati-hati. Proses perencanaan membutuhkan sumber daya untuk menyelesaikan aktivitas yang diharapkan. Hal ini menetapkan dan menentukan bagaimana cara mengurus kebijakan yang akan memerintah tindakan yang direncanakan tersebut. Planninng berlangsung sebelum program atau penyerahan program.
Matthew Miles dan Karen Louis mencatat bahwa untuk perencanaan untuk terjadi harus ada visi yang dibangun. Dalam riset, mereka menemukan bahwa sekolah yang sukses dalam menerapkan perubahan yang meningkatkan program mereka mempunyai staff yang memegang gambaran serupa dari apa yang sekolah perlukan. Para guru merasa terikat dengan program yang baru dan dikengembangkan dan mempunyai semangat terhadap inovasi itu.
Apapun juga orientasi seseorang kepada kurikulum, tidak ada penyangkalan bahwa implementasi itu memerlukan perencanaan, dan perencanaan terfokus pada tiga faktor: orang-orang, program, dan proses. Tiga faktor tidak dapat dipisahkan. Seorang pemimpin boleh menekan satu faktor lebih dari yang lain, tetapi tidak ada pemimpin yang mahir yang akan mengabaikan tiap faktor sama sekali semuanya. Banyak sekolah yang sudah gagal untuk menerapkan program mereka sebab mereka mengabaikan faktor-faktor dan membelanjakan uang dan waktu untuk memodifikasi hanya program atau proses. Satu alasan mengapa banyak proyek kurikulum gagal adalah bahwa pembaharu kurikulum, khususnya dari universitas, memusatkan energi mereka pada mengubah program tetapi tidak cukup perhatian pada kebutuhan para guru dan perhatian minimal kepada organisasi sekolah.

Incrementalism
Banyak orang ingin perubahan, namun mereka juga takut akan perubahan, terutama jika datang dengan cepat atau jika mereka merasakan hanya mempunyai sedikit kendali atau pengaruh atas perubahan tersebut. Dunia guru tidak mempunyai daya penerima untuk berubah. Fullan dan Goodlad mendeskripsikan bahwa guru sehari-hari rutin mempunyai kesempatan sedikit untuk interaksi dengan para rekan kerja. Hal ini merupakan pengasingan yang menghasilkan organisasi sekolah menyatu dalam kelas dan pengajaran jadwal. Seymour Sarason juga telah menafsirkan pengasingan guru dalam organisasi sekolah dan pada pengasingan tersebut secara negatif berdampak pada perubahan. Ia menetapkan bahwa kenyataan sekolah buat para guru merasakan bahwa, secara profesi, mereka adalah milik mereka sendiri. Adalah tanggung jawab mereka, dan milik mereka sendiri, untuk memecahkan permasalahan mereka. Hal ini menyebabkan para guru memandang perubahan dalam program sebagai suatu aktivitas individu.
Masalah kunci dalam usaha untuk menerapkan kurikulum baru adalah bahwa banyak orang individu dalam kebijakan yang umum memandang sekolah dan lingkungan mereka sebagai sama saja. Sekolah adalah sekolah. Mind-set ini menyebabkan individu, dan bahkan beberapa pendidik, merasakan bahwa rata-rata implementasi secara umum adalah sama saja; tidak perlu melakukan penyesuaian prosedur implementasi yang cocok bagi sekolah tertentu. Bagaimanapun, pendidik intinya sedang membuat kasus unik bagi sekolah masing-masing dan berfungsi kultur. Oleh karenanya, kurikulum baru yang berasal dari di luar sekolah terkait sering menciptakan perselisihan budaya.
Konsep sekolah dan kurikulum yang kaku berdampak pada peran guru. Tantangannya adalah untuk mendapatkan pendidik untuk berpikir tentang jalan baru untuk menciptakan kurikulum dan jalan baru untuk pembelajaran di dalam kultur sekolah unik. Kita harus memotivasi para guru untuk mengasumsikan peran baru dan mereka bertanggung jawab untuk itu yang mana telah diterapkan atau ditetapkan. Para guru perlu mempertimbangkan untuk menjadi playrwrigt, produsen, dan aktor ‘film’ baru dalam simponi bidang pendidikan. Dan harus dipikirkan bagaimana cara kita memperoleh persetujuan khalayak ramai dan dukungan untuk peran guru baru seperti itu.
Implementasi, tidak terjadi dengan tiba-tiba dengan semua guru. Idealnya, suatu proses implementasi membutuhkan cukup waktu untuk guru guna mencoba kurikulum yang baru. Loucks dan Lieberman sudah menemukan bahwa guru berhasil dengan suatu kurikulum baru, jika: guru mengorientasi diri mereka kepada materi dan melibatkan dalam peran itu akan serta menyiapkan mereka membawa. Pada mulanya penggunaan kurikulum yang baru adalah mekanik. Mereka mengikuti pemandu dengan penyimpangan yang sedikit dan mereka mengambil prakarsa sedikit untuk membuat perubahan apapun dalam kurikulum itu. Ketika mereka menjadi lebih nyaman dengan kurikulum, mereka mulai untuk memodifikasi itu, yang manapun untuk melakukan penyesuaiannya ke filosofi bidang pendidikan mereka sendiri atau ke konteks kebutuhan siswa.

Menkomunikasikan Rencana Implementasi
Kapanpun dan dimanapun saat program baru sedang dirancang, saluran komunikasi harus dibiarkan terbuka sehingga program yang baru datang bukan sebagai suatu kejutan. Diskusi tentang suatu program baru antar para guru, utama, dan kurikulum wirkers adalah kunci sukses implementasi. Tetapi komunikasi adalah peristiwa kompleks. Komunikasi menggambarkan transmisi fakta, gagasan, nilai-nilai, perasaan, dan sikap dari seseorang kelompok ke yang lain. Komunikasi berhadapan dengan pesan yang memproses antara pengirim dan penerima suatu pesan.
Mengetahui komunikasi adalah pesan antara pengirim dan penerima tidaklah cukup untuk memastikan bahwa komunikasi akan jadi efektif, akurat atau bermutu. Untuk meyakinkan bahwa jaringan komunikasi adalah menyeluruh dan pesan yang dikirimkan pada tempatnya, spesialis kurikulum harus memahami saluran cummunication informal dalam sistem persekolahan. Saluran komunikasi formal mengikuti pengaturan yang mapan dalam tingkatan organisasi. Komunikasi dapat mengalir sepanjang seluruh tingkat organisasi, baik vertikal maupun horisontal antar panutan. Komunikasi ke samping akan membentuk networking horisontal antar panutan.
Tantangan komunikasi, formal atau informal, samping atau mengarah ke bawah atau menaik, adalah pesan yang disiarkan dalam bentuk lisan atau bentuk tulis. Informasi tentang program baru dapat dikomunikasikan atas pertolongan surat, memo, artikel, buku, buletin, laporan riset, dan pidato/suara.

Dukungan Implementasi
Para perancang kurikulum harus didukung untuk modifikasi program yang direkomendasikan untuk memudahkan implementasi cepat mereka. Mereka harus lakukan ini sehingga mereka dapat membangun keyakinan diri mereka. Pendidik sering memerlukan pelatihan untuk merasakan nyaman dengan program baru.
Guru mempunyai tanggung jawab utama adalah untuk mengajarkan kurikulum, tetapi para guru, jika mereka ingin mempunyai suatu pengaruh dalam implementasi dan pengembangan kurikulum harus mempunyai suatu pemahaman yang tepat mengenai konsep kurikulum dan bagaimana suatu kurikulum diciptakan. Tanpa dukungan keuangan cukup, usaha untuk mendapatkan suatu program yang efektif akan gagal. Uang diperlukan untuk peralatan dan material suatu program baru. Uang adalah juga diperlukan untuk menyediakan dukungan manusia untuk implementasi sebuah usaha. Di tingkatan yang lokal itu, ada lima langkah yang dilibatkan dalam budgetting program baru: persiapan, ketundukan, adopsi, pelaksanaan, dan evaluasi.
Suatu hubungan kepercayaan harus ada antar semua organ dalam sekolah, khususnya antara administrator dan guru. Kepercayaan adalah penjamin utama kunci sukses inovasi dan implementasi. Implementasi adalah suatu usaha emosional dan kolaboratif. Dukungan adalah hal penting jika implementasi diharapkan sukses. Dan Lortie menunjuk para guru mengalokasikan mayoritas waktu kerja mereka dalam kelas dengan para siswa mereka, oleh karena itu hendaknya mereka mempunyai komunikasi minimal dengan rekan dan pemimpin mereka. Peluang untuk para guru untuk bekerja sama, berbagi gagasan, bersama-sama memecahkan permasalahan, dan dengan cara kerja sama menciptakan material yang memungkinkan implementasi kurikulum dapat sukses.

Implementasi Sebagai Proses Perubahan
Tujuan pengembangan kurikulum, dengan mengabaikan tingkatan, adalah untuk membuat suatu perbedaan untuk memungkinkan para siswa untuk mencapai tujuan milik sekolah, tujuan milik masyarakat, dan, barangkali yang paling penting, capaian dan tujuan mereka sendiri. Implementasi, suatu bagian penting pengembangan kurikulum, membawa ke dalam kenyataan mengantisipasi perubahan. Sederhananya, aktivitas kurikulum adalah aktivitas perubahan.
Tetapi apa yang terjadi ketika perubahan terjadi? Apa yang merupakan sumber perubahan? Dapatkah orang-orang meramalkan konsekuensi perubahan? Dapatkah pendidik mengendalikan perubahan yang secara langsung mempengaruhi mereka? Tentu saja, orang-orang dapat menggunakan beberapa pengendalian di atas proses perubahan, tetapi untuk melakukannya memerlukan pemahaman terhadap perubahan. Pemahaman terhadap konsep perubahan dan berbagai jenis perubahan mengijinkan individu untuk menentukan sumber perubahan. Hal itu membantu mereka menyadari bahwa, sungguhpun mereka tidak bisa benar-benar meramalkan konsekuensi perubahan, mereka dapat membuat "terkaan terbaik" meramalkan tentang perubahan akan menghasilkan sesuatu.
Di dalam pemahaman tentang konsep perubahan, pendidik harus menyadari sikap orang-orang (masyarakat) tentang implementasi dan perubahan ketika proses perubahan dipengaruhi oleh pandangan kenyataan umum mereka. Mereka yang menerima model pengembangan kurikulum yang masuk akal akan memandang perubahan sebagai sesuatu yang dengan tepat mengatur dan mengimplementasikan rencana. Implementasi menjadi bagian dari suatu proses perubahan yang linier.
Mereka yang awam akan merasa perubahan sebagai sesuatu yang tak mungkin dengan ketat dikendalikan. Suatu tahap di dalam aktivitas kurikulum, pengundangan atau implementasi bukanlah sesuatu yang terjadi di dalam suatu pertunjukan linier. Mengamati implementasi ketika interaksi berarti bahwa orang tidak bisa mengalah kepada permintaan obyektifitas dan kuantifikasi. Tentu saja, orientasi perubahan ini menunjukkan suatu proses pencerahan individu: sikap dan kepercayaan mereka. Pertimbangan yang dibuat oleh konstruksi pribadi dari kenyataan mereka dan sikap mereka ke arah hidup dan nilai-nilai yang mereka pegang sebagai sesuatu yang suci.
Dengan mengabaikan orang awam yang setia untuk, tidak ada penyangkalan bahwa perubahan dapat terjadi dalam beberapa jalan. Dua jalan yang paling jelas nyata adalah perubahan lambat seperti ketika penyesuaian kecil seperti jadwal kursus, ketika beberapa buku ditambahkan pada perpustakaan, atau ketika rencana pelajaran atau unit memperbarui guru. Dan perubahan cepat seperti hasil daripengetahuan baru atau kecenderungan sosial yang berdampak pada atas sekolah, seperti komputer yang sedang diperkenalkan ke dalam kelas.
Sekarang ini, sekolah sedang dilibatkan banyak perubahan cepat dibanding perubahan lambat. Kita sedang mengalami; mencoba perubahan cepat yang tidak hanya di dalam basis pengetahuan kita: bagaimana fungsi otak, bagaimana pelajaran terjadi, tetapi juga perubahan dalam ilmu kependudukan negeri dan terus meningkat keaneka-ragaman kelompok di dalam masyarakat. Perubahan cepat sedang terjadi di dalam latar belakang keluarga dan sturcture, subculturea, dan kelompok masyarakat. Pluralisme budaya sedang menjadi trend dan menemukan momentumnya. Sebagai tambahan, teknologi bidang pendidikan juga sedang trend dan menemukan momentumnya, berdampak pada kurikulum dan pengeimplementasiannya.
Menurut riset, untuk merubah kurikulum dan dengan sukses diterapkan, yang manapun pelan-pelan atau dengan cepat, lima petunjuk di bawah ini harus diikuti untuk membantu menghindari kekeliruan sebagaimana masa lalu.
1 Merancang inovasi untuk meningkatkan prestasi siswa harus secara teknis bunyi. Maksudnya bahwa perubahan perlu mencerminkan riset tentang apakah bekerja dan tidak bekerja, bukan mendisain untuk peningkatan secara kebetulan menjadi populer hari ini atau besok.
2.Inovasi yang sukses memerlukan perubahan di dalam struktur suatu sekolah tradisional. Dengan perubahan struktural, kita berarti memodifikasi hal yang utama menyangkut para guru dan siswa, apakah ditugaskan ke kelas dan saling berhubungan satu sama lain.
3. Inovasi harus mungkin dan dapat dikendalikan oleh rata-rata guru. Kita tidak bisa menginovasi gagasan mengenai masalah atau pemikiran solutif ketika siswa tidak bisa membaca atau tulis dasar Bahasa Inggris atau berkeberatan untuk aktif di dalam kelas.
4. Implementasi dari usaha perubahan sukses harus organik bukan birokratis. Ketegasan, monitoring prosedur, dan aturan bukanlah hal yang memungkinkan untuk perubahan; pendekatan yang birokratis ini perlu untuk digantikan oleh suatu pendekatan yang adaptip atau organik yang mengijinkan penyimpangan beberapa dari perencanaan asli dan mengenali orang pada permasalahan dan kondisi-kondisi menyangkut sekolah.
5. Hindarilah sindrom "lakukan sesuatu, kerjakan apapun" sindrom. Kebutuhan adalah untuk suatu rencana kurikulum terbatas, untuk memusatkan usaha seseorang, waktu, dan uang pada aktivitas dan isi yang adalah serasi dan rational.

Teori Perubahan
Perubahan dihasilkan oleh pengetahuan baru, namun kehadiran pengetahuan baru tidaklah cukup untuk perubahan. Masyarakat harus mengenali suatu kebutuhan untuk berubah. Lovell mengemukakan teori perubahan yang menyertakan lima proses: 1) kepemimpinan; 2) komunikasi; 3) pelepasan potensi manusia; 4) problem solving; dan 5) evaluasi. Proses ini dapat mendorong ke arah sistem (sekolah) kohesi dan kooperasi atau konflik dan tegangan.
Untuk menetapkan perubahan kurikulum harus mengerti konteks lingkungan di mana mereka sedang beroperasi. Suatu audit eksternal harus dibuat pada tahap awal pengembangan kurikulum untuk mengumpulkan dan menilai informasi berkenaan dengan yang demografis masyarakat dan socioiculturalnya, politic-legal, dan aspek yang lain. Data ekonomi pada faktor seperti diberikan sehingga tahap implementasi yang dibuat sensitif pada harapan dan sikap masyarakat. Informasi tentang lingkungan yang eksternal, melengkapi informasi baru, identitas harapan baru, dan menunjuk untuk memberi penghargaan. Masukan mengenai lingkungan eksternal seperti itu menghasilkan tention di dalam sistem bidang pendidikan, dari disequilibrium menuju equilibrium baru.
Membanidngkan toeri teori wiles's dan Lo Lovell milik Kurt Lewin, yang dianggap sebagai bapak teori perubahan, terlihat banyak gagasan yang lebih sederhana. Lewin mempertimbangkan bahwa semua orang menemukan diri mereka di dalam lingkungan yang terdiri atas kekuatan persaingan: daya penggerak dan kekuatan pengendalian. Ketika dua hal ini berkekuatan sama, suatu keseimbangan atau timbangan yang yang hidup memungkinkan suatu posisi mantap atau keadaan tetap pada saat tertentu. Keadaan tetap pada saat tertentu ini adalah benar dengan mengabaikan apakah kita sedang mendiskusikan tindakan orang-orang atau kelompok atau fungsi organisasi. Bagaimanapun, pada waktu daya penggerak mulai menundukkan pengendalian kekuatan, pemicu tindakan perubahan. Sepanjang daya penggerak ini lebih kuat, aktivitas perubahan akan berlanjut. Ketika pengendalian kekuatan memperoleh kembali daya gerak, perubahan akan melambat. Ketika kemapanan kembali, mengendalikan servis kekuatan untuk menghalangi perubahan.

Gambar Model Kekuatan Bidang

Daya penggerak Pengendalian Kekuatan
a. Intervensi Pemerintah a. Ketakutan yang tak dikenal
b. Nilai-Nilai Masyarakat b. Ancaman untuk menggerakkan
atau hamparan rumput
c. Perubahan Teknologi c. ketrampilan atau Pengetahuan usang
d. Ledakan Pengetahuan d. Nilai-Nilai tradisional
e. Proses Administratif e. Sumber daya yang terbatas

Lewin mengkonsep bahwa proses perubahan terdiri dari tiga langkah: 1) memilih situasi yang diketemukan dalam diri kita, suatu yang tidak beku, jika kamu berkehendak, dari poin A. Sesuatu yang tidak dibekukan dalam diri kita ini benar-benar berarti suatu penurunan pengendalian kekuatan dalam rangka merangsang daya penggerak. Lewin percaya bahwa yang merangsang perubahan adalah lebih baik mengurangi tenaga menyangkut pengendalian kekuatan dibanding untuk meningkatkan daya penggerak. Seperti itu adalah tindakan mengijinkan daya penggerak untuk bertindak lebih secara alami di dalam situasi.

Tipe Perubahan Bidang pendidikan
Sumber (Di) luar
Permintaan dari golongan berpengaruh;
temuan riset, kuasa sah/tentang undang-undang
Perubahan Secara spontan
Kejutan [yang] terjadi
Revolusioner Batasan waktu Mendadak,
high-impact berubah Di dalam Sumber
Panitia kurikulum daerah
kurikulum di sekolah tempat Paniti

Perubahan Sengaja
Deliberative berubah hasil

Batasan waktu Evolusiner
Lambat, terjadi dari waktu ke waktu, melalaikan dampak ber;ubah

Tipologi Perubahan
Para penanggung-jawab kurikulum, untuk mengimplementasikannya, perlu memahami sifat alami perubahan. Dengan pemahaman, proses perubahan dapat menghadapi tantangan dan menyemangati mereka yang dilibatkan. Mereka yang tidak mengerti kompleksitas perubahan mungkin untuk memulai tindakan akan mengakibatkan perselisihan di dalam organisasi sekolah. Bennis mengemukakan beberapa jenis perubahan:
1. Perubahan yang direncanakan adalah perubahan di mana yang dilibatkan itu mempunyai kuasa sama dan fungsi. Orang-Orang mengidentifikasi dan mengikuti prosedur tepat dalam hubungan dengan aktivitas yang ada. Perubahan yang direncanakan menjadi yang ideal.
2 Perubahan dengan paksaan, ditandai oleh satu orang/kelompok menentukan tujuan dan dengan sengaja tidak masuk orang lain yang mengambil bagian. Kelompok terkendali mempunyai yang utama menggerakkan dan memelihara kuasa yang berbeda menyeimbangkan.
3. Interaksi Perubahan ditandai oleh penentuan sasaran timbal balik dan suatu distribusi kuasa yang sama antar kelompok. Tetapi yang dilibatkan itu sering kekurangan suatu usaha sengaja; mereka adalah tidak-pasti.

Lanjutan Rencana Implementasi dan Pengembangan
Kebalikan dari perubahan yang direncanakan adalah perubahan acak atau alami. Jenis perubahan ini terjadi dengan tidak ada penentuan sasaran. Sering perubahan alami terjadi di sekolah. Kurikulum disesuaikan atau dimodifikasi dan diterapkan bukan sebagai suatu hasil analisa hati-hati tetapi sebagai tanggapan ke peristiwa yang tidak diantisipasi.
Robert Chin telah membahas tiga jenis strategi perubahan:
1. Empirical-Rational. Tekanan strategi pada pentingnya kebutuhan perubahan dan wewenang untuk menerapkan. Sering sekolah kekurangan pendekatan ini untuk berubah sebab mereka tidak mengetahui mereka memerlukan suatu perubahan maupun keterampilan untuk menerapkan itu.
2. Normative-Reeducative. Strategi berdasar pada kecerdasan/inteligen dan rasionalitas manusia. Manusia akan berubah jika mereka didekati secara rasional dan dibuat untuk melihat bahwa mereka harus memodifikasi nilai-nilai, sikap, pemahaman, dan ketrampilan mereka.
3. Power Strategies. Memaksa individu itu mematuhi berbagai keinginan dari mereka yang lebih pandai. Strategi paksaan jarang digunakan di dalam sekolah, kecuali saat luar biasa.
John McNeil telah menyelidiki proses perubahan dengan penggunaan kompleksitas organisator:
1. Substitution/Penggantian. Ini melukiskan perubahan di mana satu unsur mungkin diganti yang lain. Seorang guru, sebagai contoh, mengganti buku teks dengan buku yang lain. Jenis perubahan ini yang paling umum dan yang paling mudah.
2. Alteration/ Perubahan. Perubahan jenis ini ada ketika seseorang memperkenalkan program dan materi atau prosedur baru.
3. Pertubartion/Gangguan. Perubahan ini bisa jadi pada mulanya mengganggu suatu program tetapi kemudian disesuaikan secara penuh oleh leader kurikulum denan program yang berkelanjutan.
4. Restructuring/Restrukturisasi. Perubahan ini mendorong ke arah modifikasi sistem. Seperti konsep pengajaran baru, seperti perubahan susunan kepegawaian atau regu pengajar.
5. Value-Orientation change. Ini adalah pergeseran dalam orientasi kurikulum atau filosofi pokok.

Model Implementasi Kurikulum
Pemilihan Model Implementasi kurikulum sering tergantung pada pilihan filosofis. Praktisi dan sarjana melanjutkan pada kebutuhan akan alat-alat yang efektif untuk meningkatkan kurikulum dan pengajarannya. Harris mengamati bahwa usul umum untuk strategi perubahan meliputi: 1) menjelaskan bentuk otoritas; 2) menyertakan peserta dalam penentuan sasaran, pemilihan staf, dan evaluasi; 3) penetapan tanggung-jawab dan peran guru; 4) personil pelatihan dalam strategi perubahan dan teknik resolusi konflik; dan 5) perabot perubahan dengan melibatkan dukungan.
Checklist untuk Menerapkan Perubahan Kurikulum adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana nantinya pribadi guru yang diubah oleh inovasi?
2. Berapa banyak waktu persiapan tambahan yang diperlukan untuk inovasi?
3. Bagaimana nantinya inovasi "cocok" dan ke materi apa pelajar diarahkan?
4. Apa macam sumber daya material guru yang akan disajikan?
5. Apa macam materi pelajaran baru yang disediakan untuk pelajar?
6. Apa pola teladan interaksi teacher-learner akan dituntut?
7. Bagaimana permintaan prosedur pengajaran diperlukan yang belum dikuasasi guru?
8. Apa macam pelatihan yang akan disajikan?
9. Standardisasi test yang harus diambil?
10.Dukungan administrasi pemerintah (pemda) terhadap program baru?
11. Apa yang harus dilakukan orang tua untuk memahami dan mendukung program yang baru?
Menerapkan perubahan di dalam organisasi manapun, termasuk sekolah memerlukan berbagai tugas pendekatan. Secara esensial menerapkan perubahan meliputi tiga langkah, yaitu inisiasi, implementasi, dan pemeliharaan. Inisiasi yaitu perubahan mengacu pada penentuan langkah proses implementasi, memperoleh kultur sekolah yang mau menerima inovasi yang direncanakan. Pada langkah ini, perencana menaikkan pertanyaan penting tentang siapa yang akan dilibatkan, yang diharapkan dari tingkat dukungan, dan apa yang merupakan status kesiap-siagaan person untuk inovasi. Idealnya, pertanyaan ini berkenaan dengan tahap inisiasi ketika bagian-bagain dilibatkan dalam aktivitas pengembangan kurikulum.
Langkah implementasi melibatkan presentasi inovasi dan mendapatkan orang-orang untuk mencobanya di dalam kelas mereka atau bidang pendidikan lain yang sesuai. Ini adalah langkah variasi model-model atau pendekatan untuk tahap implementasi, yang mana akan dijelaskan nanti. Tahap yang ketiga adalah maintenance atau pelembagaan, yang mana sangat esensial untuk monitoring inovasi setelah telah diperkenalkan. Jika pemeliharaan tidaklah direncanakan untuk, inovasi yang diperkenalkan sering memudar atau diubah.
Yang dilibatkan dalam menerapkan program baru harus didukung oleh fakta bahwa sebagian besar pekerjaan dari masa lampau beberapa dekade telah melengkapi taktik atas bagaimana cara mempengaruhi perubahan dalam sekolah. Jon Snyder dan orang lain menunjukkan bahwa riset atas implementasi kurikulum mempunyai penemuan tentang kondisi-kondisi yang memudahkan atau menghalangi keseluruhan proses implementasi. Sesungguhnya, kita mengetahui banyak tentang proses implementasi, dan beberapa peneliti kini lebih sedikit tertarik akan implementasi sebagai proses perubahan dan lebih tertarik akan bagaimana implementasi ditetapkan dan dialami oleh para guru dan para siswa.

Model Overcoming Resistance to Change Model (ORC)
Menurut Neal Gross, bahwa kegagalan atau sukses usaha perubahan keorganisasian yang direncanakan pada dasarnya adalah suatu fungsi menyangkut kemampuan para pemimpin untuk mengarahkan perlawanan staf untuk berubah saat tepat sebelum, atau pada saat pengenalan inovasi. Untuk menerapkan suatu program baru, yaitu memperkenalkan perubahan, kita harus memperoleh penasehat (konsultan) untuk program yang baru itu. Kita memerlukan para orang yang bersemangat untuk mulai mengerjakan sesuatu yang baru, untuk melintasi batasan-batasan, dan untuk menyelidiki wilayah baru. Kita memerlukan individu yang menyambut keaneka-ragaman gagasan dan pemikiran, dan siapa yang menerima dan melakukan koreksi kreatif terhadap nilai kurikulum. Untuk menetapkan suatu masyarakat para pendukung suatu program baru, kita harus menunjuk ketakutan mereka, perasaan was-was, salah pengertian, dan faktor lain yang bisa menghalangi penerimaan terhadap perubahan. Kita harus meyakinkan semua tentang nilai-nilai mereka, asumsi, kepercayaan, visi mereka adalah tercakup di program yang baru itu. Kita harus meyakinkan mereka bahwa kita akan perlakukan mereka dan gagasan mereka dengan kejujuran dan humility.
Para leader kurikulum menggunakan model ORC menyadari bahwa mereka harus mengidentifikasi dan berhadapan dengan perlawanan dari staff. Tentu saja, beberapa menggolongkan suatu model seperti ORC sebagai adopsi concerns-based model. Suatu pengambil-alihan pendekatan ini adalah individu itu harus berubah sebelum organisasi dapat diubah. Juga, perubahan adalah suatu pengalaman yang sangat pribadi, dan kita harus mempertimbangkan kepribadian individu untuk berdaya melalui proses implementasi atau perubahan. Apalagi, perubahan yang diperkenalkan harus menunjuk para guru dan ‘pemain kurikulum lain’.
Dalam riset mereka atas implementasi inovasi di perguruan tinggi dan sekolah, Hall dan Loucks sudah mencatat bahwa concern dapat dikelompokkan ke dalam empat langkah pengembangan:
Langkah 1: Unrelated concerns. Para guru pada tingkatan ini tidak merasa adanya suatu hubungan antara diri mereka dengan perubahan yang diusulkan. Sebagai contoh, jika suatu ilmu pengetahuan program baru sedang diciptakan dalam suatu sekolah, seorang guru pada langkah ini akan sadar akan usaha tetapi tidak akan mempertimbangkan bahwa ia atau dia akan terpengaruh oleh atau terkait dengan usaha itu. Guru tidak akan menentang perubahan sebab ia benar-benar tidak merasa perubahan mempengaruhi daerah profesionalnya atau pribadinya.
Langkah 2: Personal concerns. Pada langkah ini, individu bereaksi kepada inovasi dalam hubungan dengan situasi pribadi nya. Ia mempunyai kaitan dengan bagaimana program yang baru, apa dan bagaimana dia sedang lakukan. Contoh, guru akan merasa bahwa ia akan menjadi terlibat dengan program yang baru itu. Guru akan menghadapi pertanyaan seberapa baik ia bisa memberi pengajaran dalam perubahan.
Langkah 3: Task-related concerns. Concern pada tingkatan ini berhubungan dengan penggunaan nyata dari inovasi dalam kelas. Contoh, guru akan mempunyai kaitan dengan bagaimana cara benar-benar menerapkan program yang baru. Berapa banyak waktu akan diperlukan untuk pengajaran program baru ini? Materi cukup disajikan? Apakah strategi yang terbaik untuk mengajar program yang baru?
Langkah 4: Impact-related concerns. Ketika bereaksi pada langkah ini, seorang guru jadi lebih terkait dengan bagaimana inovasi akan mempengaruhi organisasi. Guru tertarik akan bagaimana program yang baru mungkin mempengaruhi para siswa, para rekan kerja, dan masyarakat. Kekuatan guru ingin menentukan dampak program, pada apa ia sedang mengajar. Contoh, memungkinkan para siswa untuk hidup di masa datang dunia?
Ketika bekerja dengan ORC model, pendidik harus hadapi secara langsung dengan perhatian pada langkah-langkah 2, 3, dan 4. Jika mereka mengabaikannya, masyarakat tidak akan menerima inovasi.

Organizational Development Model
Pengembangan organisatoris berarti suatu pendekatan yang agak spesifik untuk menyempurnakan perubahan dan peningkatan dalam organisasi. Hal ini merupakan suatu usaha untuk meningkatkan suatu pemecahan dan proses pembaruan organisasi, terutama sekali melalui hasil diagnosa dan manajemen kolaboratif. Penekanan adalah pada kerjasama sekelompok dan kultur organisatoris.
French and Bell melukiskan tujuh karakteristik yang memisahkan pengembangan organisasi dari cara tradisional dalam pengelolaan organisasi, yaitu:
1. Penekanan pada work tim untuk menujukan isu
2. Penekanan pada kelompok dan intergroup
3. Penggunaan riset di bidang ilmu
4. Penekanan pada kerja sama/kolaborasi di dalam organisasi sebagai kultur yang dominan
5. Perwujudan bahwa kultur harus dirasa sebagai bagian dari kesisteman total
6. Perwujudan organisasi yang bertanggung-jawab atas dan bertindak sebagai consultants-facilitators
7 Penghargaan terhadap dinamika berkelanjutan dari organisasi secara terus menerus mengubah lingkungan.
Pengembangan organisatoris memandang proses implementasi kurikulum sebagai suatu proses interaktip berkelanjutan.

Concerns-Based Adoption Model
Bagaimana menggunakan pandangan individu sebagai pendekatan dalam sistem persekolahan. Semua perubahan dimulai dengan individu; perubahan individu, dan melalui perilaku perubahan mereka, institusi juga berubah. Perubahan terjadi ketika perhatian individu diberitahukan. Semua pribadi berubah, dan individu "membeli saham kongsi" perubahan yang mereka harus mempunyai kepemilikan kedua-duanya, yaitu perhatian dan proses. Lagipula, mereka harus memandang bahwa hasil dari implementasi mempunyai suatu dampak pribadi atas profesionalisme hidup mereka. Sebab perubahan mulai dengan individu dan melibatkan individu sepanjang; seluruh proses perubahan, orang harus menyadari bahwa perubahan adalah suatu proses lambat; dan memerlukan waktu untuk mewujudkannya; individu memerlukan waktu untuk belajar ketrampilan baru, merumuskan attitudes baru.
Langkah-langkah perhatian (guru) berkaitan dengan menerapkan inovasi adalah sebagai berikut:
a. Kesadaran inovasi
b. Kesadaran informasi mengukur
c. Perhatian untuk diri
d. Berhubungan dengan untuk mengajar
e. Berhubungan dengan untuk para siswa

Organizational Parts, Units, and Loops
Model pengembangan organisatoris dan Concerns-Based Adoption Model mendukung sistem berpikir. Kedua-duanya merpertimbangkan tindakan sebagai hal yang dilakukan dalam suatu organisasi yang digambarkan oleh suatu sistem hubungan, jika tidak ada sistem hubungan yang terlihat: menarik berbagai komponen ke dalam kesatuan utuh, kemudian tidak ada organisasi; ada hanya free-floating komponen. Dalam situasi seperti itu, perubahan yang direncanakan dalam organisasi, sekolah dalam situasi kita, perlu mencoba untuk menerima “win—win” atau “win—lose” atau tidak sepadan. Dalam menerapkan perubahan akan ada potensi untuk konflik antara orang-orang dan kelompok. bahkan departemen. Walaupun konflik akan terjadi, harus diatur sedemikian sehingga orang-orang menyadari bahwa semua orang berkesempatan menang. Program yang baru yang sedang diterapkan dalam sekolah menghadiahi suatu kesempatan untuk semua bagian: para siswa, para guru, kursi, dan prinsip. Bagaimanapun, implementasi sukses memerlukan energi, waktu, dan kesabaran. Implementasi, agar berhasil, harus dirasa sebagai suatu usaha yang menuntut suatu batasan waktu jangka panjang dan kooperasi dan keterlibatan utama antar orang-orang dan departemen. Lihat tips Kebijaksanaan untuk Promosi Perubahan.

Kebijaksanaan untuk Promosi Perubahan
Persamaan manusia adalah suatu pertimbangan penting untuk implementasi kurikulum. Agen perubahan dan para pemimpin perubahan harus memahami orang-orang dan bagaimana mereka bereaksi untuk berubah. Di sini adalah beberapa gagasan di luar kebiasaan untuk dipertimbangkan:
1 Kemajuan dari kepastian ke kerancuan. Meyakinkan segalanya bahwa semua pada tempatnya sebelum mulai implementasi, dan menyadari bahwa beberapa hal-hal tak diduga akan terjadi.
2 Pertimbangkan beberapa kekacauan dalam ordermu. Dalam journal implementasi, kadang terjadi kejutan dan kekacauan. Dalam berhadapan kekacauan yang direncanakan kita boleh merangsang modifikasi kreatif dalam implementasi kita, dan membawa ke dalam hubungan keberadaan yang kita tidak pernah membayangkannya.
3. Lihat makna sesungguhnya dari perilaku orang
4. Sadarilah bahwa orang-orang akan menentang perubahan, tetapi harus dilakukan.
5. Gunakan kemungkinan kekeliruan untuk membangun kredibilitasmu
6. Bersikap sensitip
7. Tingkatkanlah mutu permanen ke temporer
8. Humor pada saat yang tepat.

Educational Change Model
Walaupun ada banyak model implementasi, efektivitas dalam memanfaatkannya tergantung pada sebagian pada seberapa baik kita menyerap keseluruhan konsep implementasi. Michael Fullan telah membahas faktor pokok yang mempengaruhi implementasi, yaitu:
1. Karakteristik perubahan
a Relevansi dan Kebutuhanhan perubahan
b. Kejelasan
c Kompleksitas
d. Mutu dan program bisa dipraktekkan
2. Karakteristik sekolah di tingkat daerah
f. Sejarah usaha inovatif
g. Proses Adopsi
h. Dukungan Administratif pusat
i. Pengembangan staff dalam jabatan dan keikutsertaan)
j. Garis Waktu dan sistem informasi
k. Tampakan dan Karakteristik masyarakat
3. Karakteristik di level sekolah
l. Karakteristik prinsip dan kepemimpinan
m. Karakteristik guru dan hubungan
n. Karakteristik siswa dan kebutuhan
4. Karakteristik external menuju sistem lokal
o. Peran para agen pemerintah
p. Dana-Dana ekstern
Orang yang ingin menerapkan kurikulum yang baru perlu memahami karakteristik dari perubahan yang sedang dipertimbangkan. Sering orang-orang akan menentang inovasi sebab kebutuhan akan perubahan tidaklah diberitahukan atau, jika diberitahukan, tidak yang diterima oleh para orang itu untuk di/terpengaruh oleh perubahan. Kebutuhan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kita jaga. Perubahan pandangan bersamaan dengan nilai-nilai, mereka jadi lebih berkeinginan menerima inovasi yang sedang diusulkan.

C. Kontektualisasi Implementasi Kurikulum Ornstein & Hunkins dengan Implementasi KTSP di Indonesia
Sebagaimana diungkap di depan bahwa implementasi undang-undang dan peraturan sebagai kebijakan pemerintah (sebagaimana KTSP) dalam memacu dan mengontrol pendidikan seringkali menemukan jurang ketidakselarasan antara keduanya. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Ornstein & Hunkins bahwa implementasi kurikulum adalah sebuah perubahan, dan perubahan bagi banyak orang adalah menyenangkan apabila mempunyai efek menguntungkan dan menyengsarakan apabila memberatkan. Bagi banyak praktisi pendidikan di satuan tingkat pendidikan memandang KTSP adalah hal yang memberatkan. Bahkan, dengan sinis mereka mengatakan bahwa KTSP adalah produk dari pergantian menteri lama ke menteri baru.
Sinisme praktisi pendidikan di banyak satuan pendidikan tersebut, selayaknya disikapi secara bijak. Dalam pengertian bahwa KTSP masih sangat perlu disosialisasikan secara sistematis dan massif, sehingga pada gilirannya praktisi pendidikan dan masyarakat mempunyai perhatian yang integrated dengan perhatian pembuat kurikulum (kebijakan). Program sosialisasi harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan audience: budaya, intelegensia, psikologi dana, dan penyemaian nilai-nilai visi bersama antara pembuat kurikulum dan audience. Dengan waktu transisi sampai 2010 dengan efektivitas dan efesiensi tinggi adalah hal yang sangat mungkin melakukan hal ini. Hanya saja, keberadaan orang-orang dengan ‘kepentingan’ keuntungan pribadi atau golongan hedaknya dijadikan permasalahan yang juga diantisipasi (dan ini yang tampaknya lebih rumit).
Mengenai model perubahan apa yang digunakan saat merumuskan KTSP, pereview menggolongkannya pada Educational Change Model. Hal ini terlihat pada faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah, dan juga terlihat pada tipologi perubahannya yang terpusat pada satu kebijakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang lain. Namun fokus tipologi perubahannya juga berparadigma normatif dan rasionali. Perubahan yang dilakukan dengan KTSP juga mengakomodasi rencana-rencana perubahan yang berbasis pada kepentingan tingkat satuan pendidikan. Untuk strategi perubahan kurikulum KTSP lebih dekat pada strategi Normative-Reeducative, yaitu strategi berdasar pada kecerdasan/inteligen dan rasionalitas manusia. Atau mungkin, model, tipologi perubahan, dan strategi perubahan kurikulum KTSP adalah eklektik. Menimbang sejarah filsafat pendidikan yang digunakan, aliran psikologi, teori belajar yang digunakan di Indonesia, sangat mungkin bahwa model, tipologi perubahan, dan strategi perubahan kurikulum KTSP adalah berparadigma dan berbasis ‘eklektik’.
Ornstein & Hunkins menemukan bahwa banyak kurikulum baru yang gagal dalam implementasi karena ketiadaan suatu rencana perubahan dalam keseluruhan suatu sistem persekolahan. KTSP sudah direncanakan dalam keseluruhan sistem, namun karena begitu beragamnya key player dan masalah psikologis pembiayaan, dan belum berhasilnya pengitegrasian visi, pereview memprediksi bahwa KTSP akan berjalan timpang, tidak merata antara satuan pendidikan yang satu dengan lain.

Daftar Bacaan

Allan C. Ornstein dan Francis P. Hunkins. 2004. Curriculum: Foundation, Principles, And Issues, Fourth Edition. Boston USA: Pearson Education
Jawa Pos. 2007. SBY Perintahkan Mendiknas Banding Atas Putusan PN Jakpus tentang UNAS. Tanggal 23 Mei 2007, Halaman Utama.
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Cetakan Kedua. Bandung: Rosdakarya.
S. Nasution. 2005. Asas-asas Kurikulum, Cetakan Keenam. Jakarta: Bumi Aksara.

Model Pembelajaran Berbasis TIK.

MAKALAH
Model Pengembangan Pembelajaran Berbasis TIK
By. M. Faqih Seknun.


KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Puji syukur Saya sampaikan kepada Alloh SWT . Yang telah memberikan keluasan berupa kesehatan rejeki dan sekaligus kesempatan kepada saya sehingga bisa dapat melakukan berbagai aktifitas keseharian Amieen. Dan tak lupa pula mengucapkan salam dan salawat kepada Junjungan kita nabi beasar Muhammad SAW, beserta keluarga, dan segenap para sahabat, yang telah membawa misi islam dimuka bumi hingga saat ini kita tetap dalam keadaan yang terang benderang. Dengan kesempatan ini, saya berusaha untuk menyelesaikan tugas makalah yang sederhana dengan judul “Model Pembelajaran berbasis TIK”. Sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh ujian akhir semester (UAS) Semester III (Tiga) pada mata kuliah “Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) penuh dengan segala keterbatasan saya dalam penulisan makaalah ini, dari kesempurnaan baik berupa isi, tata bahasa, dan metodeloginya. Dalam kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih kepada. Dr.Munir M.IT. Sebagai Dosen pengampu mata kuliah “Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)” yang cukup banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada saya selama ini. Amin!..
Wasslamualaikum Wr. Wb.

B A B I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Indonesia sebagai negara berpopulasi tertinggi ke-4 tentunya memiliki tantangan yang nyaris yang sama dengan negara China dan India. Problem kesehatan dan pendidikan selalu dijadikan parameter untuk mengukur kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Indonesia dengan populasi 247 juta dimana diantaranya terdapat 51 juta siswa dan 2,7 juta guru di lebih dari 293.000 sekolah, serta 300.000 dosen di lebih dari 2.700 perguruan tinggi yang tersebar di 17.508 pulau, 33 provinsi, 461 kabupaten/kota, 5.263 Kecamatan, dan 62.806 desa. Tentunya juga memiliki tantangan khusus di bidang pendidikan.
Pengaruh perkembangan pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat ini memberikan dampak positif dan dampak negative. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif dengan semakin terbuka dan tersebarnya informasi dan pengetahuan dari dan ke seluruh dunia menembus batas ruang dan waktu. Sementara dampak negatifnya yakni terjadinya perubahan nilai, norma, aturan , atau moral kehidupan yang bertentangan dengan nilai, nilai, norma, aturan dan norma kehidupan yang dianut di masyarakat.
Sejak dulu teknologi telah diterapkan dalam pendidikan, tetapi yang digunakan adalah teknologi sederhana, seperti penggunaan papan tulis dan kapur, pena dan tinta. Dewasa ini sesuai dengan tahap perkembangannya yang digunakan adalah teknologi modern dan canggih, seperti : audio, video casette, OHP, film slide, motion felm, komputer dan lain-lain ( Sukmadinata, 1988 :103 ). Lebih lanjut Sukmadinata ( 1988 ) mengatakan bahwa peranan teknologi dalam pendidikan khususnya kurikulum dan pengajaran ada dua bentuk, yaitu dalam bentuk perangkat lunak ( software ) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat ( tolls technology) sedangkan teknologi perangkat lunak disebut teknologi sistem ( system technology)
Dewasa ini di Indoneasia terdapat sejumlah media komunokasi yang berpengaruh dalam bidang pengembangan kurikulum pendidikan yang perkembangannya sudah cukup maju dan dapat menjangkau hampir seluruh pelosok tanah air.
Berkaitan dengan itu, dimana Teknologi Informasi dan komunikasi di Indonesaia semakin popular terutama seiring dengan lahirnya Kurikulum berbasis kompotensi ( KBK ) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ). Sementara itu Abdulhak ( 2006:3 ) menyatakan bahwa dari system pendidikan, kedududukan teknologi pendidikan sebagai sarana untuk memperkuat pengembangan kurikulum terutama dalam desain dan pengembangan, serta implementasinya. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka terlihat beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengembangan program pembelajaran melalui TIK antara lain:
1 Pelaksanaan pembelajaran dengan system konvensional belum memberikan penguatan
Yang cukup significant..
2.Sistem pembelajaran belum dirancang dengan menggunakan Grorunded Theory yang sesuai fungsi dan kebutuhan di lapangan
3.Banyak sekolah dan kampus belum adanya menggunakan system pembelajaran TIK sebagai sarana dan media dalam meningkatakan mutu pendidikan.
B Permasalahan.
Sesuai dengan permasalahan yang muncul dalam rancangan program dan sistem penggunaan TIK dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut .
1.Sejauhmana fungsi dan peranan teknologi dalam dunia pendidikan
2.Hubungan TIK dengan peningkatan kualitas pendidikan kita
3.TIK sebagai media pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Sejauhmana Fungsi dan Peranan teknologi dalam Dunia pendidikan. Rumusan tentang pengertian Teknologi Pembelajaran telah mengalami beberapa perubahan, sejalan dengan sejarah dan perkembangan dari teknologi pembelajaran itu sendiri. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang Teknologi Pembelajaran yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan Teknologi Pembelajaran.
Definisi Association for Educational Communications Technology (AECT) 1963 dinyatakan bahwa“ Komunikasi audio-visual adalah cabang dari teori dan praktek pendidikan yang terutama berkepentingan dengan mendesain, dan menggunakan pesan guna mengendalikan proses belajar, mencakup kegiatan : (a) mempelajari kelemahan dan kelebihan suatu pesan dalam proses belajar; (b) penstrukturan dan sistematisasi oleh orang maupun instrumen dalam lingkungan pendidikan, meliputi : perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem pembelajaran. Tujuan praktisnya adalah pemanfaatan tiap metode dan medium komunikasi secara efektif untuk membantu pengembangan potensi pembelajar secara maksimal.”
Meski masih menggunakan istilah komunikasi audio-visual, definisi di atas telah menghasilkan kerangka dasar bagi pengembangan Teknologi Pembelajaran berikutnya serta dapat mendorong terjadinya peningkatan pembelajaran.
Definisi Commission on Instruction Technology (CIT) 1970,) “Dalam pengertian yang lebih umum, teknologi pembelajaran diartikan sebagai media yang lahir sebagai akibat revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran di samping guru, buku teks, dan papan tulis…..bagian yang membentuk teknologi pembelajaran adalah televisi, film, OHP, komputer dan bagian perangkat keras maupun lunak lainnya.”
“Teknologi Pembelajaran merupakan usaha sistematik dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar untuk suatu tujuan khusus, serta didasarkan pada penelitian tentang proses belajar dan komunikasi pada manusia yang menggunakan kombinasi sumber manusia dan manusia agar belajar dapat berlangsung efektif.”
Dengan mencantumkan istilah tujuan khusus, tampaknya rumusan tersebut berusaha mengakomodir pengaruh pemikiran B.F. Skinner (salah seorang tokoh Psikologi Behaviorisme) dalam teknologi pembelajaran. Begitu juga, rumusan tersebut memandang pentingnya penelitian tentang metode dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan khusus.
(Definisi Silber 1970 )”Teknologi Pembelajaran adalah pengembangan (riset, desain, produksi, evaluasi, dukungan-pasokan, pemanfaatan) komponen sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar) serta pengelolaan usaha pengembangan (organisasi dan personal) secara sistematik, dengan tujuan untuk memecahkan masalah belajar”.
“Definisi yang dikemukakan oleh Kenneth Silber di atas menyebutkan istilah pengembangan. Pada definisi sebelumnya yang dimaksud dengan pengembangan lebih diartikan pada pengembangan potensi manusia. Dalam definisi Silber, penggunaan istilah pengembangan memuat dua pengertian, disamping berkaitan dengan pengembangan potensi manusia juga diartikan pula sebagai pengembangan dari Teknologi Pembelajaran itu sendiri, yang mencakup : perancangan, produksi, penggunaan dan penilaian teknologi untuk pembelajaran.
(Definisi MacKenzie dan Eraut 1971) “Teknologi Pendidikan merupakan studi sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai” Teknologi Pendidikan merupakan studi sistematik mengenai cara bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai”
Definisi sebelumnya meliputi istilah, “mesin”, instrumen” atau “media”, sedangkan dalam definisi MacKenzie dan Eraut ini tidak menyebutkan perangkat lunak maupun perangkat keras, tetapi lebih berorientasi pada proses.
(Definisi AECT 1972) Pada tahun 1972, AECT berupaya merevisi defisini yang sudah ada (1963, 1970, 1971), dengan memberikan rumusan sebagai berikut: “Teknologi Pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia melalui usaha sistematik dalam : identifikasi, pengembangan, pengorganisasian
dan pemanfaatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebutDefinisi ini didasari semangat untuk menetapkan komunikasi audio-visual sebagai suatu bidang studi. Ketentuan ini mengembangkan gagasan bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu profesi. Sementara itu Definisi ( AECT, 1977 ) bahwa“Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia.“Teknologi pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana, dan organisasi untuk menganalisis masalah, merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar pada manusia.
(Definisi tahun 1977, AECT )berusaha mengidentifikasi sebagai suatu teori, bidang dan profesi. Definisi sebelumnya, kecuali pada tahun 1963, tidak menekankan teknologi pendidikan sebagai suatu teori.
(Definisi AECT 1994) Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi tentang proses dan sumber untuk belajar.” “Meski dirumuskan dalam kalimat yang lebih sederhana, definisi ini sesungguhnya mengandung makna yang dalam. Definisi ini berupaya semakin memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang dan profesi, yang tentunya perlu didukung oleh landasan teori dan praktek yang kokoh. Definisi ini juga berusaha menyempurnakan wilayah atau kawasan bidang kegiatan dari teknologi pembelajaran. Di samping itu, definisi ini berusaha menekankan pentingnya proses dan produk.Jika kita amati isi kandungan definisi-definisi teknologi pembelajaran di atas, tampaknya dari waktu ke waktu teknologi pemebelajaran mengalami proses “metamorfosa” menuju penyempurnaan. Yang semula hanya dipandang sebagai alat ke sistem yang lebih luas, dari hanya berorientasi pada praktek menuju ke teori dan praktek, dari produk menuju ke proses dan produk, dan akhirnya melalui perjalanan evolusionernya saat ini teknologi pembelajaran telah menjadi sebuah bidang dan profesi.
Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, khususnya dalam bidang pendidikan, psikologi dan komunikasi maka tidak mustahil ke depannya teknologi pembelajaran akan semakin terus berkembang dan memperkokoh diri menjadi suatu disiplin ilmu dan profesi yang dapat lebih jauh memberikan manfaat bagi pencapaian efektivitas dan efisiensi pembelajaran.
Kendati demikian, harus diakui bahwa perkembangan bidang dan profesi teknologi pembelajaran di Indonesia hingga saat ini masih boleh dikatakan belum optimal, baik dalam hal design, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, maupun evaluasinya. Kiranya masih dibutuhkan usaha perjuangan yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait dengan teknologi pembelajaran, baik dari kalangan akademisi, peneliti maupun praktisi.
Kawasan Teknologi Pembelajaran
Definisi 1994, dirumuskan berlandaskan lima bidang garapan dari Teknologi Pembelajaran, yaitu : Desain, Pengembangan, Pemanfaatan, Pengelolaan dan Penilaian. Kelima hal ini merupakan kawasan (domain) dari bidang Teknologi Pembelajaran. Di bawah ini akan diuraikan dua kawasan tersebut, dengan sub kategori dan konsep yang terkait :
1. Kawasan Desain.
Yang dimaksud dengan desain disini adalah proses untuk menentukan kondisi belajar dengan tujuan untuk menciptakan strategi dan produk. Kawasan desain bermula dari gerakan psikologi pembelajaran, terutama diilhami dari pemikiran B.F. Skinner (1954) tentang teori pembelajaran berprogram (programmed instructions). Selanjutnya, pada tahun 1969 dari pemikiran Herbert Simon yang membahas tentang preskriptif tentang desain turut memicu kajian tentang desain. Pendirian pusat-pusat desain bahan pembelajaran dan terprogram, seperti “Learning Resource and Development Center” pada tahun 1960 semakin memperkuat kajian tentang desain. Dalam kurun waktu tahun 1960-an dan 1970-an, Robert Glaser, selaku Direktur dari Learning Resource and Development Center tersebut menulis dan berbicara tentang desain pembelajaran sebagai inti dari Teknologi Pendidikan.
Aplikasi teori sistem dalam pembelajaran melengkapi dasar psikologi pembelajaran tersebut. Melalui James Finn dan Leonard Silvern, pendekatan sistem pembelajaran secara bertahap mulai berkembang menjadi suatu metodologi dan mulai memasukkan gagasan dari psikologi pembelajaran.
Perhatian terhadap desain pesan pun berkembang selama akhir 1960-an dan pada awal 1970-an. Kolaborasi Robert Gagne dengan Leslie Briggs telah menggabungkan keahlian psikologi pembelajaran dengan bakat dalam desain sistem yang membuat konsep desain pembelajaran menjadi semakin hidup. Kawasan Desain paling tidak meliputi empat cakupan utama dari teori dan praktek, yaitu : (1) Desain Sistem Pembelajaran; (2) Desain Pesan; (3) Strategi Pembelajaran; (4) Karakteristik Pembelajar Desain Sistem Pembelajaran; yaitu prosedur yang terorganisasi, meliputi : langkah-langkah : (a) penganalisaan (proses perumusan apa yang akan dipelajari); (b) perancangan (proses penjabaran bagaimana cara mempelajarinya); (c) pengembangan (proses penulisan dan pembuatan atau produksi bahan-bahan pelajaran); (d) pelaksanaan/aplikasi (pemanfaatan bahan dan strategi) dan (e) penilaian (proses penentuan ketepatan pembela .Desain Sistem Pembelajaran biasanya merupakan prosedur linier dan interaktif yang menuntut kecermatan dan kemantapan. Agar dapat berfungsi sebagai alat untuk saling mengontrol, semua langkah –langkah tersebut harus tuntas. Dalam Desain Sistem Pembelajaran, proses sama pentingnya dengan produk, sebab kepercayaan atas produk berlandaskan pada proses.
Desain Pesan; yaitu perencanaan untuk merekayasa bentuk fisik dari pesan agar terjadi komunikasi antara pengirim dan penerima, dengan memperhatikan prinsip-prinsip perhatian, persepsi,dan daya tangkap. Fleming dan Levie membatasi pesan pada pola-pola isyarat, atau simbol yang dapat memodifikasi perilaku kognitif, afektif dan psikomotor. Desain pesan berkaitan dengan hal-hal mikro, seperti : bahan visual, urutan, halaman dan layar secara terpisah. Desain harus bersifat spesifik, baik tentang media maupun tugas belajarnya. Hal ini mengandung makna bahwa prinsip-prinsip desain pesan akan berbeda, bergantung pada jenis medianya, apakah bersifat statis, dinamis atau kombinasi keduanya (misalnya, suatu potret, film, atau grafik komputer). Juga apakah tugas belajarnya tentang pembentukan konsep, pengembangan sikap, pengembangan keterampilan, strategi belajar atau hafalan.
Strategi Pembelajaran; yaitu spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau kegiatan belajar dalam suatu pelajaran. Teori tentang strategi pembelajaran meliputi situasi belajar dan komponen belajar/mengajar. Seorang desainer menggunakan teori atau komponen strategi pembelajaran sebagai prinsip teknologi pembelajaran. Dalam mengaplikasikan suatu strategi pembelajaran bergantung pada situasi belajar, sifat materi dan jenis belajar yang dikehendak Karakteristik Pembelajar, yaitu segi-segi latar belakang pengalaman pembelajar yang mempengaruhi terhadap efektivitas proses belajarnya. Karaketeristik pembelajar mencakup keadaan sosio-psiko-fisik pembelajar. Secara psikologis, yang perlu mendapat perhatian dari karakteristik pembelajar yaitu berkaitan dengan dengan kemampuannya (ability), baik yang bersifat potensial maupun kecakapan nyata — dan kepribadiannya, seperti, sikap, emosi, motivasi serta aspek-aspek kepribadian lainnya.
2. Kawasan Pengembangan
Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik, di dalamnya meliputi : (1) teknologi cetak; (2) teknologi audio-visual; (3) teknologi berbasis komputer; dan (4) teknologi terpadu.Kawasan pengembangan berakar pada produksi media. Melalui proses yang bertahun-tahun perubahan dalam kemampuan media ini berakibat pada perubahan kawasan. Walaupun perkembangan buku teks dan alat bantu pembelajaran yang lain (teknologi cetak) mendahului film, namun pemunculan film merupakan tonggak sejarah dari gerakan audio-visual ke era Teknologi Pembelajaran sekarang ini. Pada 1930-an film mulai digunakan untuk kegiatan pembelajaran (teknologi audio-visual). Selama Perang Dunia II, banyak jenis bahan yang diproduksi terutama film untuk pelatihan militer. Setelah perang, televisi sebagai media baru digunakan untuk kepentingan pendidikan (teknologi audio-visual). Selama akhir tahun 1950- an dan awal tahun 1960-an bahan pembelajaran berprograma mulai digunakan untuk pembelajaran. Sekitar tahun 1970-an komputer mulai digunakan untuk pembelajaran, dan permainan simulasi menjadi mode di sekolah. Selama tahun 1098-an teori dan praktek di bidang pembelajaran yang berlandaskan komputer berkembang seperti jamur dan sekitar tahun 1990-an multimedia terpadu yang berlandaskan komputer merupakan dari kawasan ini.
Di dalam kawasan pengembangan terdapat keterkaitan yang kompleks antara teknologi dan teori yang mendorong terhadap desain pesan maupun strategi pembelajarannya . Pada dasarnya kawasan pengembangan terjadi karena : (1) pesan yang didorong oleh isi; (2) strategi pembelajaran yang didorong oleh teori; dan (3) Manifestasi fisik dari teknologi – perangkat keras, perangkat lunak, dan bahan pembelajaran
Teknologi Cetak; adalah cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan, seperti : buku-buku, bahan-bahan visual yang statis, terutama melalui pencetakan mekanis atau photografis. Teknologi ini menjadi dasar untuk pengembangan dan pemanfaatan dari kebanyakan bahan pembelajaran lain. Hasil teknologi ini berupa cetakan. Teks dalam penampilan komputer adalah suatu contoh penggunaan teknologi komputer untuk produksi. Apabila teks tersebut dicetak dalam bentuk “cetakan” guna keperluan pembelajaran merupakan contoh penyampaian dalam bentuk teknologi cetak.
Dua komponen teknologi ini adalah bahan teks verbal dan visual. Pengembangan kedua jenis bahan pembelajaran tersebut sangat bergantung pada teori persepsi visual, teori membaca, pengolahan informasi oleh manusia dan teori belajar.
Secara khusus, teknologi cetak/visual mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) teks dibaca secara linier, sedangkan visual direkam menurut ruang; (2) keduanya biasanya memberikan komunikasi satu arah yang pasif; (3) keduanya berbentuk visual yang statis; (4) pengembangannya sangat bergantung kepada prinsip-prinsip linguistik dan persepsi visual; (5) keduanya berpusat pada pembelajar; dan (6) informasi dapat diorganisasikan dan distrukturkan kembali oleh pemakai.
Teknologi Audio-Visual; merupakan cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan dan elektronis untuk menyajikan pesan-pesan audio dan visual. Pembelajaran audio-visual dapat dikenal dengan mudah karena menggunakan perangkat keras di dalam proses pengajaran. Peralatan audio-visual memungkinkan pemroyeksian gambar hidup, pemutaran kembali suara, dan penayangan visual yang beukuran besar. Pembelajaran audio-visual didefinisikan sebagai produksi dan pemanfaatan bahan yang berkaitan dengan pembelajaran melalui penglihatan dan pendengaran yang secara eksklusif tidak selalu harus bergantung kepada pemahaman kata-kata dan simbol-simbol sejenis. Secara khusus, teknologi audio-visual cenderung mempunyai karakteristik sebagai berikut : (1) bersifat linier; (2) menampilkan visual yang dinamis; (3) secara khas digunakan menurut cara yang sebelumnya telah ditentukan oleh desainer/pengembang; (3) cenderung merupakan bentuk representasi fisik dari gagasan yang riil dan abstrak: (4) dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip psikologi tingkah laku dan kognitif; (5) sering berpusat pada guru, kurang memperhatikan interaktivitas belajar si pembelajar.
A.Hubungan TIK dengan peningkatan kualitas pendidikan kita
Penggunaan alat-alat pembelajaran yang modern dalam pendidikan mempengaruhi proses belajar-mengajar itu sendiri. Dengan menggunakan alat pembelajaran yang modern, anak didik akan termotivasi belajar dengan lebih aktif. Aktifitas belajar anak didik akan lebih tinggi intensitansnya dibandingkan metode belajar mengajar yang hanya menggunakan kapur dan papan tulis saja. Saat ini teknologi tradisional telah semakin terdesak oleh adanya teknologi modern. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah menimbulkan perubahan dalam nilai-nilai, baik nilai sosial, budaya, spiritual, intelektual, maupun material. Perkembangan IPTEKS juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru, dimana hal ini menuntut perubahan pada sistem dan isi kurikulum / Pendidikan ( Sukmadinata,1988:110). Dalam siklus IPTEKS, manusia itu perlu disempurnakan dengan pendidikan tanpa pendidikan manusia unggul yang terampil dan berbudaya dan berfalsafah tidak mungkin dapat dihasilkan ( Gaffar, 1987:32) Selain yang tergambar diatas, maka Visi mata pelajaran Teknologi Informasi dan komunikasi (TIK) yaitu agar siswa dapat menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar, bekerja, dan aktifitas lainya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikap inisiatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan yang baru . Pada hakekatnya , Kurikulum Teknologi Informasi dan komunikasi menyiapkan siswa agar dapat terlibat pada perubahan dan perubahan dalam variasi penggunaan teknologi. Siswa menggunakan TIK untuk mencari, mengeksplorasi, menganalisis, dan saling tukar informasi secara kreatif namun bertanggung jawab.
Dalam hal ini dapat diberikan contoh yang sangat kongrit dari pada penggunaan TIK dalam proses pembelajaran di kelas misalnya Strategi pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan materi dan kondisi siswa dapat meningkatkan partisipasi dari semua peserta didik dan kelompok dalam satu kelas yang antara lain meliputi :
1.Pemanfaatan studi kasus dari berbagai sumber informasi
2 Dorongan dari guru agar siswa menjadi pembelajar yang otodidiak
3 Dorongan agar siswa mau berpikir kritis mengenai isu-isu dalam teknologi informasi
4 Fasilitas belajar secara efectif melalui praktek langsung, refleksi, dan diskusi
5 Peningkatan kemampuan kerjasama termasuk aktifitas yang melibatkan siswa untuk beker sama dalam kelompok kecil atau dalam tim
6 Penumbuhan sikap menghargai usaha siswa untuk memicu kreativitas mereka
7 Pemanfaatan sumber-sumber yang merefleksikan minat dan pengalaman siswa
8.Pemberian akses pada semua siswa untuk menggunakanberbagai sumber belajar dan Penguasaan berbagai alat bantu belajar
9.Penyajian/presentasi hasil karya siswa di majalah didinding atu atara khusus pame –
Ran misalnya pada saat rapot atau acara lainya
10.Penyajian / presentasi hasil karya siswa di web klub teknologi Informasi dan Komunikasi
11.Penyajian / presentasi publikasi hasil karya siswa pada sekolah, atau brosur khusus TIK. Dan berbagai multi fungsi lainya dalam penggunaan TIK untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita di tanah air.

A.TIK sebagai media pembelajaran.
Media pembelajaran yang dipilih untuk menunjang proses pembelajaran harus sesuai dengan
metode pembelajaran yang digunakan. Misalnya, tujuan pembelajaranya “peserta didik
diharapkan terampil menggunakan computer”, dengan media pembelajaranya adalah computer secara nyata ( realita), maka metode pembelajaran yang tepat untuk digunakan adalah yan sifatnya praktis seperti metode latihan, bukan dewngan metode ceramah atau yang lai Penggunaaan metode dan media pembelajaran yang bervariasi akan mampu me suasana pembelajaran, mendorong motivasi belajar dan memudahkan memahami konsep yang abstrak atau rumit ( Munir, 2008 : 141 ) Adapun bebrapa metode yang dapadigunakan dalam pembelajaran melalui TIK adalah seperti : Cooperative Learning,
Collaborative Learning, Reseources – based learning, Problem based learning, Project – base learning, Discovery learning, independent learning. Dalam hal ini terdapat beberapa pemanfaatan TIK secara langsung seperti diuraikan di bawah ini yakni: ( 1) Sebagai ketrampilan ( skill) dan kompotensi (2) sebagai infrastruktur pembelajaran (3) sebagai bahan sumber (4) sebagai alat bantu dan fasilitas pembelajaran (5) sebagai pendukung manejemnt pebelejaran dan (6) sebagai system pendukung keputusan
a.Kelebihan-kelebihan TIK.
Cepat, konsisten, jitu, kepercayaan, meningkatkan produktifitas, mencetuskan kreatifitas..
b. Sasaran TIK.
1. Meningkatkan evektifitas, dan evesiensi kerja
2. Memangkas jalur
3. Memperluas akses terhadap pihak lain
4. Memudahkan pengawasan langsung pada obyek
5. Dapat mengevaluasi setiap saat untuk perencanaan berikutnya
6. Dapat memberi keputusan pasti.

Itulah beberapa fungsi dan peranya penggunaan TIK sebagai media pembelajaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air kita, dan diharapkan dapat merata serta terjangkau di semua pelosok dimana pendidikan itu berada.



BAB III.
P E N U T U P.

Dari pembahasan berdasrkan Latar belakang, dan munculnya berbagai teori maka hal ini dapat disimpulkan antara lain :
1. Tuntutan perkembangan IPTEK saat ini mau dan tidak mau media TIK adalah sumber belajar yang paling tepat dalam meningkatkan sumber daya manusia.
2. Implikasi munculnya power of TIK akan berdampak positif dan juga negative, sehingga perlu adanya shering penggunaanya dalam berbagai bentuk.
3. TIK dapat dikembangkan untuk semua kalangan baik peserta didik, mahasiswa , professional, bissnis stakeholder .dan lain-lain sebagaianya.


Daftar Pustaka.

Abdulhak Ishak, (2006), Rancang Bangun Konsep Teknologi pendidikan, Rujukan
Materi Workshop Pengembangan Teknologi Pendidikan UPI Bandung.
Munir, ( 2008 ), Kurikulum berbasis teknologi informasi dan Komunikasi, Band-
Ung: Alfabeta.
Sedarmayati, ( 2008), Tata Kerasipan dengan Memanfaatkan Teknologi Modern,
Bandung: Mandar Maju
Sudrajat, Akhmad, ( 2008 ),Landasan Kurikulum.
http://Akhmaduradjat.wordpress.com.
http://www.e_ducasi.net/artikel/index:php id: 97

Rabu, 24 Maret 2010

Pengembangan pendidikan dan permasalahannya

Thema :
Tulisan Tentang :PERKEMBANGAN PENDIDIKAN & PERMASALAHANYA .

M. Faqih Seknun.
Jabatan : Dosen Bahasa Inggris IAIN Ambon,
Mahasiswa Pascasarjan Universitas Pendidikan Indonesia ( UPI ) Bandung.
Jurusan Pengembangan Kurikulum S3.

Abstract. ( Tulisan 1 ) M. Faqih Seknun.

Judul PERKEMBANGAN PENDIDIKAN & PERMASALAHANYA.
Pada tahun 1967 saat konferensi internasional diselenggarakan di Williamsburg USA, pengakuan para perencana dan pakar pendidikan tentang munculnya krisi pendidikan dunia (world educational crisis) sebagaimana dikemukakan oleh Coombs (1968) telah menjadi meluas. Terdapat kepedulian terhadap ketidaksesuaian kurikulum. Dalam konteks ini, pertumbuhan pendidikan dan pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dan pekerjaan tidak muncul secara langsung sebagai hasil pendidikan. Banyak negara mengalami kesulitan untuk membiayai perluasan pendidikan formal. Disimpulkan dalam konferensi itu bahwa sistem pendidikan formal beradaptasi amat lambat terhadap perubahan sosial ekonomi yang disebabkan bukan semata-mata karena konservatisme pendidikan sekolah, tetapi juga oleh kelambanan (inertia) masyarakat itu sendiri. Dari titik awal pemberangkatan inilah para perencana pendidikan dan ekonomi di Bank Dunia mulai membedakan antara pendidikan formal, non-formal dan informal (Fordhan 1993 : 2 dalam Rujukan Filsafat, Teori, Praksis Ilmu Pendidikan, 2007 : 281) dan pada waktu yang hampir bersamaan ada gerakan dalam UNESCO mengenai pendidikan sepanjang hayat (life-long education) dan masyarakat gemar belajar (the learning society) yang kulminasinya tertuang dalam buku learning to be (laporan Edgar Faure UNESCO 1972), pendidikan sepanjang hayat menjadi The Master Concept dalam membangun sistem pendidikan. (UNESCO 1972 : 182) Dan pengakuan tentang pendidikan formal, informal, dan nonformal mengacu pada definisi yang dikemukakan Coombs (1968) tentang :
1.Pendidikan formal (formal education) didefinisikan oleh Coombs sebagai sistem pendidikan yang berstruktur, bertingkat, berjenjang dimulai dari sekolah dasar sampai universitas dan yang setaraf, termasuk kegiatan belajar yang berorientasi akademik dan umum, bermacam-macam spesialisasi dan latihan teknik serta latihan profesional.
2.Pendidikan nonformal (nonformal education) menurut Coombs (1968) adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan baik dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih besar, dan dilakukan secara sengaja untuk melayani peserta didik tertentu guna mencapai tujuan belajarnya.
3.Pendidikan informal (informal education) menurut Coombs (1968) adalah proses yang berlangsung seumur hidup, yang dalam proses itu setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampiraln dan pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidup sehari-hari dan pengaruh sumber-sumber pendidikan dalam lingkungan hidupnya, seperti dari keluarga, teman sepermainan, tetangga, pekerjaan, perpustakaan, pasar, media massa, dan lain-lain.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Sisdiknas Republik Indonesia No. 20 Thn. 2003 dapat dibedakan sebagai berikut :
1.Pendidikan formal
Pasal 14, dimana tentang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal 15, jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.
Pasal 16, tentang jalur, jenjang, dan jenjang pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dan atau masyarakat.
2.Pendidikan nonformal
Pasal 26 ayat 4, yakni
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Ayat (1) pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, menambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pedidikan sepanjang hayat.
Ayat (2) pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Ayat (3) pendidikan nonforlam meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Pasa 27
Pendidikan informal
Ayat (1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Ayat (2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Ayat (3) ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Baik dari tujuan serta karakteristik dari ketiga bentuk sistem pendidikan yakni formal, nonformal, dan informal, yang dikembangkan oleh UNESCO yaitu pendidikan sepanjang hayat (life long education) dalam buku Learning To Be (laporan Edgar Faure UNESCO 1972) dalam konsep membangun sistem pendidikan, serta dikaitkan dengan sistem pendidikan, serta dikaitkan dengan sistem UU Sisdiknas No. 20 Thn. 2003, ynag dikembangkan melalui pasal 14, 15, 16, untuk pendidikan formal, serta pasal 26 ayat 1, 2, 3 dan 4, dalam bentuk pendidikan nonformal, dan untuk pendidikan informal diatur dalam pasal 27 ayat 1, 2, dan 3. Maka di sana terlihat bahwa sistem dan bentuk pelaksanaan pendidikan dimaksud sudah jelas. Artinya bahwa, apa yang diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah sudah dikonsepkan dengan baik. Implikasi kurikulum dari masing-masing pendidikan tersebut, sebagaimana penjelasan di bawah ini.
Bahwa suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal : Pertama, kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan kondisi dan perkembangan masyarakat. Kedua, kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses isi dan tujuan kurikulum.
Dan dalam hal ini, jika dibandingkan diantara bentuk kurikulum dari ketiga bentuk pendidikan dimaksud tampaknya perbedaannya antara pendidikan formal, dan pendidikan nonformal, dan informal lebih bersifat administratif. Karena di sini bobot isi atau kontent ilmu terdapat kesamaan yakni mengarah pada pencapaian tujuan yakni Mastery Learning atau disebut skill full. Di sini dapat dibandingkan bentuk komponen tujuan, waktu penyelenggaraan, isi/materi pembelajaran, sistem peluncuran, penyampaian dan pengawasan, dapat disusun model tipe ideal pendidikan formal dan nonformal seperti di bawah ini :

Model Tipe Ideal Pendidikan Formal dan Nonformal
Komponen Pendidikan FormalPendidikan Non-Formal
Tujuan
- Jangka panjang dan umum
- Berbasis ‘credential’ -
- Jangka pendek dan spesifik
- Tidak berbasis ‘credential’
Waktu Penyelenggaraan
- Siklus panjang/persiapan/penuh waktu -
- Siklus pendek/berulang/penuh waktu isi / Materi.
- Standarisasi/berpusat masukan Akademik
- Persyaratan masuk menentukan calon peserta didik
-Individual/berpusat keluaran Praktikal
-Callon peserta didik menentukan persyaratan masuk
Sistem peluncuran/ penyampaian
-Berbasis institusi, tenolasi dari lingkungan
-Terstruktur kaku, berpusat pada guru dan intensitas sumber yang tinggi - lingkungan, terkait dengan masyarakat
-Fleksibel, berpusat pada peserta didik, dan saving sumber-sumber pengawasan Ekternal/hirarkis
- Internal, mengatur diri sendiri/demokratik
Tujuan pendidikan formal bersifat jangka panjang, artinya ketercapaiannya memerlukan waktu yang panjang dan bersifat umum. Pendidikan formal berbasis credentials dalam pengertian pemerolehan ijazah merupakan aspek amat penting dan menjadi ciri keberhasilan. Sementara itu, tujuan pendidikan nonformal bersifat jangka pendek dan spesifik, untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang segera dapat dipergunakan. Pendidikan luar sekolah menekankan pada belajar yang fungsional yang sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan peserta didik. Dalam pendidikan nonformal, ijazah penting juga, tetapi lebih diutamakan pemerolehan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai sebagai kriteria keberhasilan.
Waktu penyelenggaraan pendidikan formal merupakan siklus yang panjang, bertahun-tahun, bersifat mempersiapkan masa depan. Peserta didik harus mencurahkan pikiran dan tenaganya secara penuh waktu. Sementara itu, waktu penyelenggaraan pendidikan bersiklus pendek, dari beberapa hari sampai beberapa bulan (kecuali program kesetaraan yang sama dengan pendidikan formal), bersifat berulang, dan waktu yang diperlukan bisa bersifat parus waktu……akan ada lanjutan berseri…



Abstract : (Tulisan ke 2 )…M.Faqih Seknun.

Judul : Percepatan Pembangunan Pendidikan di Indonesia serta Penyesuain Kurukulm.
pemerintah Indonesia telah mempercepat pencanangan Millenium Development Goals, yang semula dicanangkan tahun 2020 akan menjadi tahun 2015. Millenuim Development Goals adalah era pasar bebas atau era globalisasi sebagai era persaingan mutu atau kualitas, siapa yang berkualitas dialah yang akan maju dan mampu mempertahankan eksistensinya. Oleh karena itu, pembangunan sumber daya manusia (SDM) berkualitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal tersebut mutlak diperlukan, kerana akan menjadi penopang utama pembangunan nasional yang mandiri dan berkeadilan, good governance and clean governance, serta menjadi jalan keluar bagi bangsa Indonesia dari krisis, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi (Mulyasa, 2006).
Selanjutnya Mulyasa (2006) juga mengungkapkan bahwa percepatan arus maklumat dalam era globaliasi dewasa ini menuntut semua bidang kehidupan untuk menyelesaikan visi, misi, tujuan, dan strateginya agar sesuai dengan keperluan dan tidak ketinggalan zaman. Penyesuaian tersebut secara langsung mengubah tatanan dalam sistem makro, meso, maupun mikro, demikian halnya dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan keperluan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Salah satu komponen penting dan sistem pendidikan tersebut adalah kurikulum, karena kurikulum merupakan komponen pendidikan yang dijadikan acuan oleh setiap satuan pendidikan, baik pengelola maupun penyelenggara; khususnya guru dan kepala sekolah. Oleh kerana itu, semenjak Indonesia memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak bangsanya, maka semenjak itu pula pemerintah menyusun kurikulum. Dalam hal ini, kurikulun dibuat oleh pemerintah pusat secara sentralistik, dan diberlakukan bagi seluruh anak bangsa di seluruh tanah air Indonesia.
Adanya kurikulum yang dibuat secara sentralistik ini, maka setiap satuan pendidikan diharuskan untuk melaksanakan dan mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang disusun oleh pemerintah pusat menyertai kurikulum tersebut. Dalam hal ini, setiap sekolah hanya menjabarkan kurikulum tersebut di sekolah masing-masmg, dan biasanya yang berkepentingan adalah guru.
Tugas guru dalam kurikulum yang sentralistk ini adalah menjabarkan kurikulum yang dibuat oleh pusat ke dalam satuan pelajaran sesuai dengan mata pelajaran masing-masing.
Kurikulum apapun yang akan dikembangkan haruslah mampu mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang RI, 2003).
Tujuan pendidikan menjadi arah semua kegiatan pendidik¬an termasuk dalam pengembangan kurikulum. Menetapkan dan mengembangkan tujuan merupakan langkah awal dalam mengembangkan kurikulum. Pengembangan tujuan kurikulum me¬rupakan suatu keniscayaan yang perlu dilakukan seizin dengan tuntutan masyarakat global dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan yang berkembang demikian pesatnya.
Pengembangan tujuan kurikulum mencakup pengembangan tujuan pendidikan nasional, tujuan sekolah/institusi, tujuan pembelajaran, dan tujuan mata pelajaran, dan tujuan pembelajaran.
Tujuan Sekolah (Institusional)
Tujuan sekolah atau tujuan institusi merupakan kemampuan yang hendak dicapai melalui kegiatan pendidikan pada lembaga pendidikan (sekolah) tersebut. Setiap jenjang pendidikan, baik pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidik¬an tinggi memiliki tujuan sekolah yang berbeda-beda yang menunjukkan hasil belajar peserta didiknya. Hasil belajar itu berupa pengalaman belajar yang diberikan selama proses pembelajaran.
Tujuan sekolah ada yang hendak dicapai dalam jangka panjang karena bentuk perilaku sebagai hasil belajarnya masih umum. Ada pula tujuan sekolah yang hendak dicapai dalam jangka pendek karena bentuk perilaku sebagui hasil belajarnya sudah bersifat khusus, yaitu perilaku yang bisa diamati atau dapat diukur.
Dalam hal ini untuk implikasi kurikulumnya sebagaimana dalam kriteria, yakni
Kriteria penetapan Materi Kurikulum
Secara umum ada beberapa pertimbangan dalam menetapkan materi kurikulum baik khususnya ditinjau dari sudut siswa, yakni:
a. Tingkat Kematangan Siswa
Seperti yang telah dikemukakan, setiap anak memiliki taraf perkem¬bangan atau taraf kematangan yang berbeda. Tingkat kematangan anak usia SD berbeda dengan tingkat kematangan anak usia SMP. Isi atau materi kurikulum harus sesuai dengan tahap kematangan anak. Tingkat kematangan akan sejalan dengan tingkat perkembangan psikologis anak. Pada tingkat perkembangan psikologis itu selanjutnya akan diketahui tarap kepekaan dan tingkat kemampuan anak terhadap sesuatu. Inilah yang harus kita pertimbangkan dalam pengembangan materi kurikulum. Mengabaikan tingkat kematangan akan membuat materi kurikulum menjadi tidak efektif untuk mencapai tujuan tertenu.
b. Tingkat Pengalaman Anak
Tingkat pengalaman akan menentukan tingkat kemampuan anak dalam melakukan sesuatu. Anak yang mampu menghadapi suatu masalah berarti ia memiliki pengalaman dalam masalah tersebut. Pengalaman inilah yang harus dijadikan dasar dalam menentukan materi kurikulum, sehingga materi itu akan memberikan pengalaman belajar yang lebih tinggi.
c. Taraf Kesulitan Materi
Materi kurikulum harus disusun berdasarkan tingkat kesulitannya. Materi kurikulum harus disusun dari yang mudah menuju yang sulit; dari yang konkret menuju yang abstrak; dari yang sederhana menuju yang kompleks.
Mengapa materi kurikulum harus disusun seperti itu?
Manakala siswa dihadapkan pertama kali dari sesuatu yang kom¬pleks, maka dapat mengurangi motivasi belajar, bahkan kedua materi dimulai dari yang sulit sehingga siswa tidak sanggup mempelajarinya, maka siswa cenderung akan menjadi frustasi. Hal ini tentu saja secara psikologis sangat tidak menguntungkan untuk perkembangan siswa.
Ditinjau dari cakupannya, penentuan materi kurikulum harus didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a. Materi kurikulum mencakup nilai-nilai yang harus ditanamkan pada anak didik sesuai dengan pandangan hidup masyarakat itu.
b. Materi kurikulum adalah materi yang dapat mengembangkan potensi dan kemampuan siswa sesuai dengan minat dan bakat siswa.
c. Materi kurikulum adalah materi yang sesuai dengan disiplin ilmu yang cepat berkembang.
d. Materi kurikulum harus dapat menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah.
Hunkins (1988) mengemukakan lima kriteria dalam mengorganisasi isi pelajaran. Pertama, kriteria yang berhubungan dengan uang lingkup isi pelajaran. Kriteria ini menyangkut keluasan dan kedal iman isi kuri¬kulum sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Kedua, kriteria yang berkaitan dengan keterkaitan at au hubungan antara materi atau isi pelajaran yang satu dengan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman belajar siswa terjadi secara utuh, tidak terkotak-kotak. Belajar dikatakan bermakna apabila terjadi integrasi antara satu pengalaman belajar dengan pengalaman lainnya.
Ketiga, berkaitan dengan urutan isi dan pengalaman belajar secara vertikal. Artinya pengorganisasian pengalaman belajar harus memiliki kesinambungan. Artinya, jangan terjadi pengulangan isi yang dapat menyebabkan pemahaman siswa tidak berkembang. Isi pelajaran harus di¬susun sedemikian rupa, yang makin lama semakin luas dan mendalam.
Keempat, isi dan pengalaman belajar harus disusun dari yang sederhana menuju yang kompleks secara berkesinambungan, sehingga pema¬haman dan kemampuan siswa berkembang sampai tuntas.
Kelima, yang disebut dengan artikulasi dan keseimbangan. Artikulasi artinya bahwa isi kurikulum harus memiliki keterkaitan baik keterkaitan antara pelajaran yang satu dengan yang lain, maupun keterkaitan dilihat dan tingkat kesulitannya. Sedangkan yang dimaksud dengan keseimbangan adalah, bahwa isi kurikulum harus menyangkut berbagai aspek secara seimbang, baik aspek pengembangan intelektual aspek minat dan bakat siswa, maupun aspek keterampilan yang dibutuhkan sebagai bekal kehidupan siswa.
Dari berbagai level atau tingkatan yang dikembangkan diatas , nampaknya dapat terinspirasi pada kita bahwa sesungguhnya proses pembelajaran bukan sekedar the transfer of knowledge kepada peserta didik, namun sejauh ini perlu dilakukan dan diidentifikasi pengalaman belajar yang kita kenal dengan ( Learning experiences) adalah sejumlah istilah aktivitas siswa yang dilakukan untuk mempereoleh informasi dan kompotensi baru sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Ketika kita berpikir informasi dan kemampuan seperti apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita semestinya berpikir pengalaman belajar yang bagaimana yang perlu didesain agar tujuan dan kompotensi itu dapat diperoleh setiap siswa. Ini sangat penting untuk dipahami, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan bagaimana cara pencapainya…



















Abstract : ( Tulisan 3 ) : M. Faqih Seknun.

Judul : Pengembangan KTSP.

Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pongembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk psndidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikilum yang disusun oleh BSNP .
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
2. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterk aitan dan kesinambungan yang berm Jkna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembarigan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa Imu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan I ehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, ternasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karenu itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompeiensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
1. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
2. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jenjang pendidikan yang dikembangkan dalam hal ini adalah level SD prosedur dan pengembangnya. Pengembangan kurikulum tidak dapat lepas dari berbagai faktor maupun aspek yang mempengaruhinya, seperti cara berpikir, sistem nilai (nilai moral, keagamaan, politik, budayadan sosial), proses pengembangan, kebutuhan peserta didik, lingkup (scope) dan urutan (sequence) bahan pelajaran, kebutuhan masyakat maupun arah program pendidikan. Aspek-aspek tersebut akan menjadi bahan yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain (designing), menerapkan (implementation), dan mengevaluasi (evaluation) suatu kurikulum. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum harus dapat menggambarkan suatu proses sistem perencanaan pembelajaran yang dapat rnemenuhi berbagai kebutuhan dan standar keberhasilan dalam pendidikan.
Berdasarkan perkembangan teori dan pemikiran para ahli kurikulum, maka dewasa ini telah banyak disajikan model-model pengembangan kurikulum. Setiap pengembangan kurikulum tersebut memiliki karakteristik dan ciri khusus pada pola desain, implementasi, evaluasi dan tidak lanjut dalam pembelajaran. Dalam pengembangan kurikulum dapat diidentifikasi berdasarkan basis apa yang akan dicapai dalam kurikulum tersebut, seperti alternatif yang ditekankan pada kebutuhan mata pelajaran, peserta didik, penguasaan kompetensi suatu pekerjaan, kebutuhan masyarakat atau permasalahan sosial. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum perlu dilakukan berdasarkan teori yang telah dikonseptualisasikan secara efektif. Dalam implementasinya sering terjadi dalam pengembangan kurikulum cenderung hanya ditekankan pada pemenuhan mata pelajaran. Artinya, isi atau materi yang dipelajari peserta didik hanya berpusat pada disiplin ilmu yang terstruktur, sistematis dan logis, sehingga selalu mengabaikan pengetahuan maupun kemampuan yang aktual dibutuhkan sesuai perkembangan masyarakat. Ada beberapa model pengembangan kurikulum yang akan dikemukan dalam bahasan ini di antaranya
a. Model Ralph Tyler
Model pengembangan kurikulum yang dikemuk akan Tyler diajukan berdasarkan pada beberapa pertanyaan yang mengarah pada langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum, pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tujuan pendidikan apa yang diinginkan oleh sekulah?
2) Pengalaman-pengalaman edukatif apa yang dap.it diberikan supaya tujuan itu dapat dicapai?
3) Bagaimanakah bahan itu harus diorganisasi agar efektif?
4) Bagaimanakah untuk mengetahui bahwa tujuan ^ersebuttercapai?
Oleh karena itu, dalam tahapannya Tyler menggunakati 4 tahap yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum, yang meliputi :
1) Menentukan tujuan pendidikan.
2) Menentukan proses pembelajaran yang harus dlh.kukan.
3) Menentukan organisasi kurikulum.
4) Menentukan evaluasi pembelajaran.
Dalam prosesnya, pengembangan kurikulum secara makro dengan model ini harus melibatkan berbagai pihak seperti Perguruan Tinggi dan masyarakat yang terdiri dari para ahli; bidang studi, kurikulum, pendidikan, psikologi dan perkembangan anak dan bidang lainnyayang terkait.
Organisasi-organisasi kurikulum untuk tingkat/level SD
1. Struktur Kurikulum SD/MI
Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam salah satu jenjang pendidikan selama enam tahun mulai Kelas I sampai dengan Kelas VI. Strukur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan berikut :
a. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri sendiri seperti tertera pada tabel 2.
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan denga ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat.
Setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.
b. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan "IPA Terpadu" dan "IPS Terpadu".
c. Pembelajaran pada Kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada Kelas IV s.d. VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.
d. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.
e. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.
f. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.
LIHAT Bagan Kurikulum dibawah ini…









Struktur Kurikulum SD/MI
Komponen Kelas dan Alokasi Waktu
I II III IV, V dan VI
A. Mata Pelajaran
1. Pendidikan agama 3
2. Pendidikan Kewarganegaraan 2
3. Bahasa Indonesia 5
4. Matematika 5
5. Ilmu Pengetahuan Alam 4
6. Ilmu Pengetahuan Sosial 3
7. Seni Budaya dan Keterampilan 4
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 4
B. Muatan Lokal 2
C. Pengembangan Diri 2*)
Jumlah 26 27 28 32
*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran

Ini adalah struktur atau organisasi kurikulum tingkat SD/MI. Sesuai dengan kurikulum KTSP yang sedang berlaku saat ini di Indonesia…..berlanjuuut….